Kamis, 16 Oktober 2014

Perihal Orang Miskin yang Bahagia


Cerpen Agus Noor

“AKU sudah resmi jadi orang miskin,” katanya, sambil memperlihatkan Kartu Tanda Miskin, yang baru diperolehnya dari kelurahan. “Lega rasanya, karena setelah bertahun-tahun hidup miskin, akhirnya mendapat pengakuan juga.”
Kartu Tanda Miskin itu masih bersih, licin, dan mengkilat karena di-laminating. Dengan perasaan bahagia ia menyimpan kartu itu di dom­petnya yang lecek dan kosong.
“Nanti, bila aku pingin berbelanja, aku tinggal menggeseknya.”
Diam-diam aku suka mengintip rumah orang mis­kin itu. Ia sering duduk melamun, sementara anak-anaknya yang dekil bermain riang me­nahan lapar. “Kelak, mereka pasti akan men­jadi orang miskin yang baik dan sukses,” gumamnya.
Suatu sore, aku melihat orang miskin itu me­nik­mati teh pahit bersama istrinya. Kudengar orang miskin itu berkata mesra, “Ceritakan ki­sah paling lucu dalam hidup kita….”
“Ialah ketika aku dan anak-anak begitu kelaparan, lalu menyembelihmu,” jawab istrinya.
Mereka pun tertawa.
Aku selalu iri menyaksikan kebahagiaan me­reka.
Orang miskin itu dikenal ulet. Ia mau bekerja serabutan apa saja. Jadi tukang becak, kuli angkut, buruh bangunan, pemulung, tukang parkir. Pendeknya, siang malam ia membanting tulang, tapi alhamdulillah tetap miskin juga. “Barangkali aku memang run-temurun dikutuk jadi orang miskin,”ujarnya, tiap kali ingat ayahnya yang miskin, kakeknya yang miskin, juga simbah buyutnya yang miskin.
Ia pernah mendatangi dukun, berharap bisa mengubah garis buruk tangannya. “Kamu memang punya bakat jadi orang miskin,” kata dukun itu. “Mestinya kamu bersyukur, karena tidak setiap orang punya bakat miskin seperti kamu.”
Kudengar, sejak itulah, orang miskin itu berusaha konsisten miskin.
Pernah, dengan malu-malu, ia berbisik pada­ku. “Kadang bosan juga aku jadi orang miskin. Aku pernah berniat memelihara tuyul atau babi ngepet. Aku pernah juga hendak jadi pelawak, agar sukses dan kaya,” katanya. “Kamu tahu kan, tak perlu lucu jadi pelawak. Cukup bermodal tampang bego dan mau dihina-hina.”
“Lalu kenapa kau tak jadi pelawak saja?”
Ia mendadak terlihat sedih, lalu bercerita, “Aku kenal orang miskin yang jadi pelawak. Ber­tahun-tahun ia jadi pelawak, tapi tak pernah ada yang tersenyum menyaksikannnya di panggung. Baru ketika ia mati, semua orang tertawa.”
Orang miskin itu pernah kerja jadi badut. Kos­tumnya rombeng, dan menyedihkan. Setiap meng­hibur di acara ulang tahun, anak-anak yang menyaksikan atraksinya selalu menangis ketakutan.
“Barangkali kemiskinan memang bukan hi­buran yang menyenangkan buat anak-anak,” ujarnya membela diri, ketika akhirnya ia dipecat jadi badut.
Kadang-kadang, ketika merasa sedih dan la­par, orang miskin itu suka mengibur diri di depan kaca dengan gerakan-gerakan badut paling lucu yang tak pernah bisa membuatnya tertawa.
Orang miskin itu akrab sekali dengan lapar. Se­tiap kali lapar berkunjung, orang miskin itu selalu mengajaknya berkelakar untuk sekadar me­lupakan penderitaan. Atau, seringkali, orang mis­kin itu mengajak lapar bermain teka-teki, untu­k menghibur diri. Ada satu teka-teki yang selalu diulang-ulang setiap kali lapar da­tang ber­tandang.
“Hiburan apa yang paling menyenangkan ke­tika lapar?” Dan orang miskin itu akan menja­wabnya sendiri, “Musik keroncongan.”
Dan lapar akan terpingkal-pingkal, sambil menggelitiki perutnya.
Yang menyenangkan, orang miskin itu memang suka melucu. Ia kerap menceritakan kisah orang miskin yang sukses, kepadaku. “Aku punya kolega orang miskin yang aku kagumi,” katanya. “Dia merintis karier jadi pengemis untuk membesarkan empat anaknya. Sekarang satu anaknya di ITB, satu di UI, satu di UGM, dan satunya lagi di Undip.”
“Wah, hebat banget!” ujarku. “Semua kuliah, ya?”
“Tidak. Semua jadi pengemis di kampus itu.”
Orang miskin itu sendiri punya tiga anak yang ma­sih kecil-kecil. Paling tua berumur 8 tahun, dan bungsunya belum genap 6 tahun. “Aku ingin mereka juga menjadi orang miskin yang baik dan benar sesuai ketentuan undang-undang. Setidaknya bisa mengamalkan kemiskinan me­reka secara adil dan beradab berdasarkan Pan­casila dan UUD 45,” begitu ia sering berkata, yang kedengaran seperti bercanda. “Itulah sebabnya aku tak ingin mereka jadi pengemis!”
Tapi, seringkali kuperhatikan ia begitu bahagia, ketika anak-anaknya memberinya recehan. Hasil dari mengemis.
Pernah suatu malam kami nongkrong di wa­rung pinggir kali. Bila lagi punya uang hasil anak-anaknya mengemis, ia memang suka me­manjakan diri menikmati kopi. “Orang miskin per­lu juga sesekali nyantai, kan? Lagi pula, be­ginilah nikmatnya jadi orang miskin. Punya ba­nyak waktu buat leha-leha. Makanya, sekali-kali, cobalah jadi orang miskin,” ujarnya, sam­bil menepuk-nepuk pundakku. “Kalau kamu miskin, kamu akan punya cukup tabungan pen­de­ritaan, yang bisa digunakan untuk membia­yaimu sepanjang hidup. Kamu bakalan punya cadangan kesedihan yang melimpah. Jadi kamu nggak kaget kalau susah.” Kemudian pelan-pe­lan ia menyeruput kopinya penuh kenikmatan.
Saat-saat seperti itulah, diam-diam, aku suka mengamati wajahnya.
Wajah orang miskin itu mengingatkanku pada wajah yang selalu muncul setiap kali aku berkaca. Dalam cermin itu kadang ia menggodaku dengan gaya badut paling lucu yang tak pernah membuatku tertawa. Bahkan, setiap kali ia meniru gerakanku, aku selalu pura-pura tak melihatnya.
Pernah, suatu malam, aku melihat bayangan orang miskin itu keluar dari dalam cermin, ber­jalan mondar-mandir, batuk-batuk kecil minta diperhatikan. Ketika aku terus diam saja, kulihat ia kembali masuk dengan wajah kecewa.
Sejak itu, bila aku berkaca, aku kerap melihat­nya tengah berusaha menyembunyikan isak ta­ngisnya.
Ada saat-saat di mana kuperhatikan wajah orang miskin itu diliputi kesedihan. “Jangan sa­lah paham,” katanya. “Aku sedih bukan ka­rena aku miskin. Aku sedih karena banyak se­kali orang yang malu mengakui miskin. Banyak sekali orang bertambah miskin karena selalu berusaha agar tidak tampak miskin.”
Entah kenapa, saat itu mendadak aku merasa ki­kuk dengan penampilanku yang perlente. Se­jak itu pula aku jadi tak terlalu suka berkaca.
Bila lagi sedih orang miskin itu suka datang ke pengajian. Tuhan memang bisa menjadi hiburan menyenangkan buat orang yang lagi kesusahan, katanya. Ia akan terkantuk-kantuk sepanjang ceramah, tapi langsung semangat begitu makanan dibagikan.
Ada lagi satu cerita, yang suka diulangnya padaku:
Suatu malam ada seorang pencuri menyatroni rumah orang miskin. Mengetahui hal itu, si miskin segera sembunyi. Tapi pencuri itu memergoki dan membentaknya, “Kenapa kamu sembunyi?” Dengan ketakutan si orang miskin menjawab, “Aku malu, karena aku tak punya apa pun yang bisa kamu curi.”
Ia mendengar kisah itu dalam sebuah pengajian. “Kisah itu selalu membuatku punya alasan untuk bahagia jadi orang miskin,” begitu ia selalu mengakhiri cerita.
Orang miskin itu pernah ditangkap polisi. Saat itu, di kampung memang terjadi beberapa kali pencurian, dan sudah sepatutnyalah orang miskin itu dicurigai. Ia diinterogasi dan digebugi. Dua hari kemudian baru dibebaskan. Kabarnya ia diberi uang agar tak menuntut. Berminggu-minggu wajahnya bonyok dan memar. “Beginilah enaknya jadi orang miskin,” katanya. “Di­tu­duh mencuri, dipukuli, dan dikasih duit!”
Sejak itu, setiap kali ada yang kecurian, orang miskin itu selalu mengakui kalau ia pelakunya. De­ngan harapan ia kembali dipukuli.
Banyak orang berkerumun sore itu. “Ada yang mati,” kata seseorang. Kukira orang miskin itu te­was dipukuli. Ternyata bukan. “Itu perempuan yang kemarin baru melahirkan. Anaknya sudah selusin, suaminya minggat, dan ia merasa repot kalau mesti menghidupi satu jabang bayi lagi. Ma­kanya ia memilih membakar diri.”
Perempuan itu ditemukan mati gosong, sambil mendekap bayi yang disusuinya. Orang-orang yang mengangkat mayatnya bersumpah, kalau air susu perempuan itu masih menetes-netes dari putingnya.
Sepertinya ini memang lagi musim orang mis­kin bunuh diri. Dua hari lalu, ada seorang ibu sengaja menabrakkan diri ke kereta api sambil menggendong dua anaknya. Ada lagi sekeluarga orang miskin yang kompak menenggak racun. Ada juga suami istri gantung diri karena bosan dililit hutang.
“Tak gampang memang jadi orang miskin,” ujar orang miskin itu. “Hanya orang miskin ga­dungan yang mau mati bunuh diri. Untunglah, sekarang saya sudah resmi jadi orang miskin,” ujarnya sembari menepuk-nepuk dompet di pantat teposnya, di mana Kartu Tanda Miskin itu dirawatnya. “Ini bukti kalau aku orang miskin sejati.”
Orang miskin punya ponsel itu biasa. Hanya orang-orang miskin yang ketinggalan zaman sa­ja yang tak mau berponsel. Tapi aku tetap sa­ja kaget ketika orang miskin itu muncul di ru­mahku sambil menenteng telepon genggam.
“Orang yang sudah resmi miskin seperti aku, boleh dong bergaya!” katanya dengan gagah. Lalu ia sibuk memencet-mencet ponselnya, menelepon ke sana kemari dengan suara yang sengaja dikeras-keraskan, “Ya, hallo, apa kabar? Bagaimana bisnis kita? Halooo….”
Padahal ponsel itu tak ada pulsanya.
Ia juga punya kartu nama sekarang. Di kartu na­ma itu bertengger dengan gagah namanya, tem­pat tinggal, dan jabatannya: Orang Miskin.
Ia memang jadi kelihatan keren sebagai orang mis­kin. Ia suka keliling kampung, menenteng pon­sel, sambil bersiul entah lagu apa. “Sekarang anak-anakku tak perlu lagi repot-repot me­ngemis dengan tampang dimelas-melaskan,” ka­tanya. “Buat apa? Toh sekarang kami sudah nya­man jadi orang miskin. Tak sembarang orang bisa punya Kartu Tanda Miskin seperti ini.”
Ia mengajakku merayakan peresmian kemiskinannya. Dibawanya aku ke warung yang biasa dihutanginya. Semangkuk soto, ayam goreng, sam­bal terasi dan nasi—yang tambah sampai tiga kali—disantapnya dengan lahap. Sementa­ra aku hanya memandanginya.
“Terima kasih telah mau merayakan kemiskinanku,” katanya. “Karena aku telah benar-benar resmi jadi orang miskin, sudah sepantasnya kalau kamu yang membayar semuanya.”
Sambil bersiul ia segera pergi.
Ketika tubuhnya digerogoti penyakit, dengan enteng orang miskin itu melenggang ke rumah sakit. Ia menyerahkan Kartu Tanda Miskin pada suster jaga. Karena banyak bangsal kosong, suster itu menyuruhnya menunggu di lorong. “Beginilah enaknya jadi orang miskin,” batinnya, “dapat fasilitas gratis tidur di lantai.” Dan orang miskin itu dibiarkan menunggu berhari-hari.
Setelah tanpa pernah diperiksa dokter, ia disuruh pulang. “Anda sudah sumbuh,” kata pe­rawat, lalu memberinya obat murahan.
Orang miskin itu pulang dengan riang. Kini tak akan pernah lagi takut pada sakit. Saat anak-anaknya tak pernah sakit, ia jadi kecewa. “Apa gunanya kita punya Kartu Tanda Miskin kalau kamu tak pernah sakit? Tak baik orang miskin selalu sehat.”
Mendengar itu, mata istrinya berkaca-kaca.
Beruntung sekali orang miskin itu punya istri yang tabah, kata orang-orang. Kalau tidak, perempuan itu pasti sudah lama bunuh diri. Atau memilih jadi pelacur ketimbang terus hidup dengan orang miskin seperti itu.
Tak ada yang tahu, diam-diam perempuan itu sering menyelinap masuk ke rumahku. Sekadar untuk uang lima ribu.
Suatu sore yang cerah, aku melihat orang mis­kin itu mengajak anak istrinya pergi berbelanja ke mal. Benar-benar keluarga miskin yang sa­kinah, batinku. Ia memborong apa saja sebanyak-banyaknya. Anak-anaknya terlihat begitu gembira.
“Akhirnya kita juga bisa seperti mereka,” bi­sik orang miskin itu pada istrinya, sambil me­nunjuk orang-orang yang sedang antre memba­yar dengan kartu kredit. Di kasir, orang mis­kin itu pun segera mengeluarkan Kartu Tan­da Miskin miliknya, “Ini kartu kredit saya.”
Tentu saja, petugas keamanan langsung mengusirnya.
Ia tenang anak-anaknya tak bisa sekolah. “Buat apa mereka sekolah? Entar malah jadi kaya,” katanya. “Kalau mereka tetap miskin, malah banyak gunanya, kan? Biar ada yang terus berdesak-desakan dan saling injak setiap kali ada pembagian beras dan sumbangan. Biar ada yang terus bisa ditipu setiap menjelang pemilu. Kau tahu, itulah sebabnya, kenapa di negeri ini orang miskin terus dikembangbiakkan dan dibudidayakan.”
Aku diam mendengar omongan itu. Uang dalam amplop yang tadinya mau aku berikan, pelan-pelan kuselipkan kembali ke dalam saku.
Takdir memang selalu punya cara yang tak terduga agar selalu tampak mengejutkan. Tanpa firasat apa-apa, orang miskin itu mendadak mati. Anak-anaknya hanya bengong memandangi mayatnya yang terbujur menyedihkan di ranjang. Sementara istrinya terus menangis, bukan karena sedih, tapi karena bingung mesti beli kain kafan, nisan, sampai harus bayar lunas kuburan.
Seharian perempuan itu pontang-panting cari utangan, tetapi tetap saja uangnya tak cukup buat biaya pemakaman. “Bagaimana, mau dikubur tidak?” Para pelayat yang sudah lama menunggu mulai menggerutu.
Karena merasa hanya bikin susah dan merepotkan, maka orang miskin itu pun memutuskan untuk hidup kembali.
Sejak peristiwa itu, kuperhatikan, ia jadi sering murung. Mungkin karena banyak orang yang kini selalu mengolok-oloknya.
“Dasar orang miskin keparat,” begitu sering orang-orang mencibir bila ia lewat, “mau mati sa­ja pakai nipu.”
“Apa dikira kita nggak tahu, itu kan akal bulus biar dapat sumbangan.”
“Dasarnya dia emang suka menipu, kok! Ingat nggak, dulu ia sering keliling minta sumbangan, pura-pura buat bikin masjid. Padahal hasilnya ia tilep sendiri.”
“Kalian tahu, kenapa dia tak jadi mati? Kare­na neraka pun tak sudi menerima orang miskin kayak dia!”
Orang-orang pun tertawa ngakak.
Nasib buruk kadang memang kurang ajar. Suatu hari, orang miskin itu berubah jadi anjing. Itulah hari paling membahagiakan dalam hidupnya. Anak istrinya yang kelaparan segera menyembelihnya. (*)



Contoh LPJ Qurban

I.  PENDAHULUAN

Alhamdulillah  puji  dan  syukur  kita  panjatkan  kehadirat  Illahi  robbi  yang  telah  memberikan kemudahan dalam melaksanakan ibadah Qurban sehingga dalam pelaksanaan pemotongan hewan qurban dapat berjalan lancar sebagaimana mestinya, walaupun tentunya masih banyak kekurangan yang  akan  menjadi  bahan  evaluasi  untuk  melaksanakan  pemotongan  hewan  qurban  pada tahun berikutnya. Untuk tertib administrasi dan sesuai dengan prinsip amanah, maka disusunlah laporan pertanggung jawaban ini kepada warga SMK Al Mustamidiyyah Larangan.



II.  NAMA KEGIATAN
Kegiatan ini dinamakan “Peringatan Hari Raya Idul Adha 1435 H dengan acara penyembilahan dan penyaluran daging Qurban”



III.  DASAR KEGIATAN
Kegiatan ini berdasarkan pada program OSIS SMK Al Mustamidiyyah Larangan serta mengikuti tuntunan ajaran Agama Islam sesuai Firman Allah dalam Q.S Al- Kautsar : 1 – 2 dan Q.S Al-Hajj : 36.



IV. TUJUAN
Adapun maksud dan tujuan diadakan kegiatan ini adalah :
·         Meningkatkan keimanan dan ketaqwaan terhadap Allah SWT
·         Melatih diri kita dalam perwujudan keikhlasan dalam konteks yang nyata
·         Mendidik kita para umat muslim agar memiliki  kepekaan dan solidaritas tinggi terhadap sesama
·         Menghindarkan diri kita para muslim dari sikap rakus,ambisius,cenderung tidak menghargai hukum dan norma-norma social menuju hidup yang haqiqi
·         Menampung, melaksanakan dan menyalurkan amanat kurban bagi haqqul maal yaitu yang berhak menerimanya.
·         Belajar menerapkan ilmu ibadah qurban





V.  SUSUNAN PANITIA

Pembina/pelindung     :    Kepala Sekolah SMK Al Mustamidiyyah Larangan
Penanggung Jawab     :    Taufiq Gunawan S.pd

Ketua                           :    Samsul Bahar

Sekretaris                    :    Rosinta

Bendahara                   :    Wiyanah

Seksi-seksi

1.  Perlengkapan          :  - Abdulloh Syarifudin
                                       - Ika fasikha
                                      -  Rudi Santoso
2.  Konsumsi               : - Syafiyatul Fadhillah rizki
                                      - Nani Riyanti
                                      - Uun kurniasih
                                      - Fefti Safitri
3.  Pengolahan             : - Ali Baharudin
4.  Pendistribusian       : - Anwar Musadad
5.  Kebersihan             : - Ahmad Fauzi
                                     - Indrawan
6.  Humas                    : - Atun Tasyatun
                                     - Nur Aliyah
7.  Dokumentasi          : - Zahrotul Maula
8.  Keamanan              : - Jaenudin
                                      - Bani Musthofa





VI.  EVALUASI KEGIATAN

Pada    qurban  tahun  ini  panitia  menerima  hewan  qurban  berupa  2 ekor  Kambing, yang bersumber dari iuran Siswa-siswi MTS dan SMK Al Mustamidiyyah Larangan .

 Pelaksanaan  pemotongan  hewan  qurban  1434  H,  dilakukan  pada  Hari  Senin, Tanggal  06 Oktober 2014  Jam  08:00  –  12.00  bertempat  di  Halaman SMK Al Mustamidiyyah Larangan.

Sedangkan  pembagian Sate  daging  qurban  dilakukan  mulai  pukul  10:00  –  11:00  bertempat  di  masing-masing kelas,
Panitia mendatangkan Tim Potong Qurban sebanyak  2  orang dan Penyate 2 orang.

Qurban  2  ekor  Kambing  diberikan kepada  guru-guru, tata usaha, siswa-siswi dan  warga  sekitar  SMK Al Mustamidiyyah Larangan dalam bentuk   dalam bentuk siap saji, serta panitia dan Tim Pemotong dan Penyate.


 VII.  SARAN/MASUKAN

Berdasarkan  pelaksanaan  kegiatan  tersebut,  terdapat  beberapa  hal  –  hal  berikut  ini  yang mungkin bermanfaat  untuk  perbaikan  pelaksanaan  kegiatan  qurban  SMK Al Mustamidiyyah Larangan di  masa  mendatang, yaitu:  

Diperlukan sosialisasi yang lebih luas kepada seluruh warga SMK Al Mustamidiyyah Larangan dan masyarakat penerima berikutnya sebaiknya  ada  spanduk  didepan  pintu  gerbang  sekolah yang  dipasang  minimum satu minggu sebelum hari pelaksanaan qurban.
Diperlukannya  basis data  yang  berhak  menerima  qurban  yang  lebih akurat  dengan verifikasi RT/RW setempat  dan  pengurus  Masjid/Mushola untuk masyarakat, serta  siswa tidak mampu supaya  terjadi pembagian paket daging qurban yang adil.
Sebaiknya menggunakan kupon, untuk distribusi kupon  sebaiknya dilakukan  sehari  sebelum hari  pemotongan. Untuk  memastikan kupon sampai kepada pemegang kupon  pada harinya.
Merupakan  cara  yang  baik,  dalam  kegiatan  Qurban  dengan  melaksanakan  tabungan  hewan  qurban baik guru maupun tata usaha.





VIII.  ANGGARAN DANA

A.     PEMASUKAN

·         Iuran Siswa yg berjumlah:
167 siswa x Rp. 30.000,-                                      : Rp.    5. 010.000,-

·         Sekolah                                                                       : Rp.    1.000.000,-

       Jumlah total                                                                      : Rp.   6.010.000,-



B. PENGELUARAN

·         2 ekor Kambing                                                          :  Rp.   4.000.000,-    
·         Beras 15 kg                                                                 :  Rp.   130.000,-
·         Kecap 3.600 ml                                                           :  Rp.   60.000,-
·         Bawang, tomat, cabe                                                  :  Rp.   20.000,-
·         Sindik sate                                                                  :  Rp.   20.000,-
·         Kertas nasi                                                                  :  Rp.   20.000,-
·         Arang                                                                          :  Rp.   20.000,-
·         Penyembelih                                                                :  Rp.   100.000,-
·         Penyate                                                                       :  Rp.   20.000,-
·         Transport Pengantaran Daging                                   :  Rp.   15.00,-
·         Kantin (Mbah)                                                                        :  Rp.   25.000,-
·         Atun Tasyatun                                                                        :  Rp.   100.000,-
·         Aqua 6 Dus                                                                 :  Rp.   78.000,-
·         Proposal (LPJ)                                                             :  Rp    20.000,-

      Jumlah total                                                                       :    Rp.           4.628.000,-


IX.  DOKUMENTASI KEGIATAN
ada

X.  PENUTUP

Demikian  laporan  pelaksanaan  Qurban  Idul  Adha  1435  H di SMK Al Mustamidiyyah Larangan.,  dengan  harapan  semoga  kita  semua mendapat  ridho  dari  Allah SWT. Amiin. 

Kami  sangat  mengharapkan  kritik  dan  saran  yang  membangun  dari  berbagai  pihak  demi kesempurnaan kegiatan  selanjutnya


Wassalamu’alaikum Wr. Wb